Minggu, 30 Mei 2010

Kegagalan yang Mengajarkan Kita

Otokritik Terhadap Hasil UN 2010




Hasil Ujian Nasional (UN) 2010 di Sulawesi Selatan telah diumumkan kemarin. Hasilnya ada yang menyebut sebagai kegagalan besar ada pula yang menganggap biasa-biasa saja. Barangkali yang menganggap sebagai sebuah kegagalan besar adalah mereka yang melihatnya dari sudut peningkatan persentase ketidaklulusan. Dimana tingkat ketidaklulusan tahun ini naik sekitar 0,41% yakni menjadi 7,89% dari 7,48% pada tahun 2009 lalu. Persentase ini memang terbilang kecil, namun jika dilihat dari jumlah siswa yang tidak lulus mencapai lebih dari 10.000 orang dari jumlah peserta sebanyak 33.333 orang (menurut data yang dilansir dari Tribun Timur Edisi 24 dan 26 April 2010).

Kamis, 04 Maret 2010

BOIKOT LAGU MAHADEWI, LAGU PORNO

lagu perusak moral bangsa, mengajak mesum/freesex
(lakukan dengan cinta-mahadewi)


Cinta cinta cinta lakukan dengan cinta bila kamu mau mau mau aku tak mau bila tanpa cinta bukannya aku mau mencari alasan mencari masalah untuk tak melakukannya untuk berkata tidak untuk berkata jangan untuk berkata nanti untuk berkata aku tak bisa ku tak mau

nih lirik rap.. yang ngajakin mesum

It`s the time... It`s the time...
Don`t waste time, it`s making love time
Jangan buru-buru take your time
Kita kan lakukan pelan-pelan

Straight from the top to the bottom
Don`t worry baby, you know I got`em
Cinta yang tulus sepenuh hatiku
Jad sekarang ayo lakukan itu
Drop your clothes baby on the floor
From now on I`m gonna love you more

please say yes, baby don`t say no
i want you right now and not tomorrow
yang kupunya cinta bukannya nafsu
tapi kalo kau mau aku sih ayoo.....

jangan lagi kita buang waktunya
sudah tiba untuk bercumbu
suka sama suka apa yang ditunggu
aku mau cinta juga mau itu



semoga lagu ini dicekal, agar para remaja indonesia tidak menjadi penghuni neraka

sebarkan pesan ini ke semua orang yang kita kenal

Rabu, 24 Februari 2010

Anakku Mulai Makan


Alhamdulillah, pada hari ini. Putra pertama kami, Muh Aththar sudah mulai makan. Tentunya Makanan Pendamping Asi (MPA). Tepat diusianya yang ke 6 bulan. Tidak terasa memang, karunia Ilahi itu menghiasi rumah tangga kami. Ya Allah, karunia ini tentu akan menjadi pelajaran bagi kami. Pokoknya terima kasih ya Allah...

Laki-laki di Simpang Satu


Malino, Indonesia. Villa di sebuah desa. Pukul 02.00 dini hari. 2007
Udara dingin terasa semakin menusuk tulang belulang. Entah suhu berapa. Kurapatkan kerah jaket bulu agar suhu badanku bisa seimbang dengan suhu udara di luar sana. Kedua tangan kulipat dan kurapatkan di dada. Kaki yang terbungkus dengan kaos kaki tebal, kuangkat ke atas sofa, agar merapat dengan kedua paha. Tapi udara dingin di luar lebih menusuk dibanding usahaku menghangatkan diri. Sejatinya, Malino bukanlah tempat yang cocok buatku menunggu kedatangan Kekhan. Namun, atas permintaannya, aku terpaksa menutupi rasa sesak di dada setiap mendapatkan udara dingin. Bronkhitis yang aku idap sejak kecil menjadikan aku tersiksa jika berada di ruangan dingin, apalagi di udara bebas. Tapi demi Kekhan, aku rela. “Ode, kamu tunggu aku yah di Villa sampai aku datang. Kita bisa menikmati cinta sepanjang malam di sana. Berhentilah berkelana. Kamu jadi penulis saja di villa kita”. Begitu Kekhan melirih, saat kami berpisah di Malaysia tiga tahun lalu.Tempat ini adalah villa milik Kekhan yang sengaja dibuatkan Ayahnya. Ayah Kekhan lebih memilih berdomisili di kota kecil di Austria. Kekhan sangat senang dengan udara pedesaan dan pegunungan yang di kelilingi kabut tiada henti. Malino telah memikat hatinya. Sesak semakin menghimpit dadaku. Batuk-batuk kering disertai sedikit lendir, mulai hadir lagi. Akh untuk kesekian kalinya, aku harus membiarkannya.Hari ini adalah hari ketiga aku menunggu kedatangan Kekhan. Kekhan mengabari akan datang sebelum perayaan ulang tahunnya yang ke 28 tahun. Tapi entah kenapa dia belum datang juga. Maksud hati ingin menelpon ke Hp-nya, tapi ia melarang. Katanya ingin memberikan surprise.

Bali, Indonesia. Januari 1999.
Tugas dari kantor membuat tulisan khusus tentang kehidupan masyarakat Bali membuat aku semangat melepas semua permasalahan hidup di Kota Makassar. Hari ke tiga tiba di Jimbaran, membuatku semakin melupakan kemelut perceraian orang tuaku. Sari Segara Resort, tempat menginap membuatku nyaman berlama-lama. Suatu sore menjelang senja. Jimbaran Café begitu ramai oleh bule yang sedang menikmati bir dan vodka. Aku duduk menikmati senja, sehabis keliling di pemukiman sekitar Jimbaran. Rasa lelahku sirna saat menikmati alam yang senja. Setengah jam melamun, seorang laki-laki tegap mendekatiku.“Kenalkan, Brana. Boleh saya duduk?”, sapanya akrab dengan dialek campuran Manado dan Melayu. Ia duduk meski belum aku persilahkan. Aku tersenyum sambil menawarkannya minum.

“Maaf? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”.

“Belum!”

“Terus?”, tanyaku sedikit heran.

“Sedari tadi saya mengamati Anda, dan sepertinya saya sangat ingin mengenal Anda”.

“Oh ya?”, kali ini saya sedikit bergumam.

“Yap, sangat ingin!”, ia tersenyum mantap.Tidak lebih satu jam, kami sudah saling mengenal. Ia banyak bercerita tentang masa-masa kecilnya di Manado. Masa-masa remajanya yang suram. Hingga kehidupannya yang mendapat tantangan dari keluarganya. Ia juga bercerita, kenapa ia memilih menetap di Bali.

“Di sini aku bisa bebas menentukan hidup, Ode. Hidup denga siapa saja, tanpa ada yang mengekang. Aku bebas. Bali memberikan segalanya”, tandasnya sambil tersenyum hangat.Kami bertukar pikiran tentang kehidupan. Brana memberikan banyak inspirasi soal hidup. Khususnya terkait dengan masalah orang tuaku saat ini. Aku kagum padanya, entah rasa kagum itu seperti apa. Sorot matanya tajam dan memukau. Aku begitu tertarik padanya.Pertemuan dengan Brana semakin sering terjadi. Ia selalu punya banyak waktu buatku. Apalagi menjelang senja di Jimbaran Café. Kami menghabiskan waktu hingga malam, hanya sekadar minum-minum. Atau hanya diam saling menatap dengan dalam. Suatu hari aku mengajak ia ke resort. Menghabiskan malam bersama Brana. Sepanjang malam, larut dalam buaian angin Jimbaran. Cinta berpantang pun kami arungi. Kami bebas dan hanyut. Kami ternyata saling membutuhkan dan merindu setiap saat. Akh…, Brana sudah menjadi bagian hidupku yang begitu berarti. Akhir tahun 2002 lalu, kami putus kontak sejak Bom Bali meledak. Entah Brana berada di mana. Ia juga tidak pernah memberikan kabar. Ingin rasanya aku ditugaskan kembali menulis tentang kehidupan masyarakat Bali pasca Bom Bali tersebut. Sayang, aku ditugaskan di Papua hingga tahun 2003. Setelah itu redaksi menugaskan aku ke Pulau Mindanau, Filipina. Hingga tahun 2004, aku ditugaskan ke Sandakan, Malaysia.

Perkebunan Taiko Platation, Sandakan, Malaysia. 2004.
Kehidupan masyarakat bugis di perantauan, khususnya bagi mereka yang bekerja di perkebunan mengingatkan aku pada Brana. Perjuangan mereka yang gigih mengenangkan usaha Brana bengkitkan aku dari kemelut. Aku berada di Sandakan selama tiga bulan untuk mengumpulkan data-data tentang kehidupan suku Bugis Makassar di negeri Jiran. Ternyata, di lokasi perkebunan Taiko Platation (dulu bernama Borneon Estate Sdn Bhd), juga terdapat seorang mahasiswi dari University of Malaya yang melakukan penelitian Antropologi. Namanya Kekhan. Berasal dari Kota Watampone, sebuah kota di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kekhan studi S2 di Malaysia mengambil jurusan Antropologi. Ternyata ia juga tertarik dengan kehidupan masyarakat bugis, yang akan dijadikannya sebagai tesis.

“Kekhan, from South Sulawesi, Indonesia!”, katanya mantap saat kami bertemu di kantor Taiko. Aku pun menyebutkan nama dan tempat asalku bekerja. Ia terkejut.

“Wow, saya suka membaca koran Anda”, ia lalu membuka diri dan bercerita banyak tentang dirinya selama studi di Malaysia. Ternyata Kekhan adalah anak pengusaha tersohor di Makassar. Usaha ekspor impor rumput laut ayahnya begitu maju. Kehidupannya begitu terjamin. Ia nyaris tidak bertemu dengan ayahnya dalam dua tahun terakhir, karena ayahnya memilih tinggal di Austria.Di sela-sela melaksanakan tugas jurnalistik, aku banyak membantu Kekhan mengumpulkan data dan wawancara. Hampir setiap hari kami bersama. Mess yang diberikan kepada kami memang tidak begitu jauh. Hanya satu blok. Kadang aku nginap di Messnya, kadang ia pun tidur di Messku. Brana sedikit terlupakan. Jujur, baru kali ini aku akrab dengan wanita. Aku terlalu sibuk melanglang-buana dari daerah satu ke daerah lain. Dari negara satu ke negara lain, hingga melupakan sosok wanita. Laki-laki jauh lebih berarti dan berkesan. Entah, aura Kekhan menyadarkan aku pentingnya seorang wanita. Ternyata kelembutan Kekhan mengalahkan Brana yang pernah memberikan cinta selangit. Dua bulan lebih bersama, kami memilih mengikrar hati. Aku memberikan sebuah cincin manis di jarinya dan selembar kain biru yang kusobek dari lengan kemejaku.

“Kekhan, simpan yah, sampai kita bertemu di Indonesia”. Ia mengangguk.

“Aku akan pulang mungkin setelah yudisium dan mendapatkan ijazah“. Ia terdiam sejenak.

”Ode, ingatlah malam-malam kita di sini jika engkau rindu, dan kuharap kamu tidak lagi berkelana. Berjanjilah menemani malam-malamku di simpang satu itu“. Ada setitik air yang tak jadi keluar dari sudut matanya. Ia menyerahkan amplop tebal sebelum berpaling.


Bandara Hasanuddin, Makassar. Indonesia. Akhir 2004.

Di luar bandara sambil menunggu taxi bandara yang akan mengantar aku ke rumah, kumembuka amplop pemberian Kekhan. Ternyata surat singkat yang bertuliskan, “Tinggallah di dalamnya, dan tunggulah aku. Kita ciptakan malam-malam yang lebih indah nanti“. Ada pula selembar surat kuasa pemakaian villa yang ditujukan padaku, lengkap dengan alamatnya. Sebuah kunci, yang aku pastikan kunci villa milik Kekhan. Kekhan… Kekhan… kamu begitu baik, gumamku dalam hati. Aku bergegas pulang setelah ada sopir taxi memanggil. Satu tahun kemudian aku putuskan berhenti jadi wartawan dan menjadi penulis lepas. Aku menulis novel tentang kehidupan masyarakat yang pernah aku kunjungi saat bertugas menjadi jurnalis. Sejak awal 2006 aku berdiam di villa milik Kekhan. Menunggunya segara datang di ujung jalan buntu, di simpang satu. Aku selalu bermimpi tentang malam-malam indah yang akan kami arungi. Tapi setiap aku bangun, hari masih dini hari. Kuhanya mendapatkan udara dingin dan tiupan angin, menusuk dari sela-sela jendela yang selalu aku biarkan terbuka.

Malino, Indonesia. Villa. Pukul 05.00 subuh. 2007
Suara pukulan pagar berkali-kali membuyarkan lamunanku tentang Kekhan. Ada suara kecil dan lembut memanggil namaku. Kekhan!!! Itu pasti Kekhan. Aku sontak berdiri. Udara dingin subuh yang menusuk dada dan batuk keringku tak kuhiraukan. Aku menyambanginya segera. Mimpi tentang malam-malam indah kami akan terwujud. Pasti.Belum tiba di pagar, tiba-tiba di depanku berdiri sosok yang selama ini telah aku lupakan.

“Brana, kenapa kamu yang datang?” Aku tambah shock ketika melihat di tangan Brana ada sepotong kain dari kemejaku, dan… dan… cincin tunangan kami ada di jari manisnya. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Aku berteriak sekeras mungkin.

“Brana, Kekhan di mana?”, ku genggam kerah bajunya dan mengangkat setinggi mungkin.

“Kamu apakan Kekhan, hah!”. Ada senyum di bibir Brana. Tak dihiraukan amarahku. Tanganku disentuhnya dengan lembut, dibelainya dengan mesra. Cincin tunangan dijari manisnya disentuhkan ke wajahku. Dikecupnya keningku. Amarahku semakin memuncak sampai ke ubun-ubun.“Brana, hentikan!” Tapi, tangan Brana semakin liar dan kuat. Aku meronta-ronta. Tubunya kudorong sekuat tenaga. Sontak dari balik bajunya ada logam tajam jatuh ke lantai. Ada tetesan darah di situ dan beberapa helai rambut.

“Akh, Kekhan …. Kamu biadab, Brana!” Brana tertawa terbahak-bahak.

“Akulah yang kamu tunggu, Ode“.

Ramadhan, Pulanglah


Aku benci !!! Aku benci menerima surat itu lagi. Muak. Kenapa mereka tidak pernah mau mengerti. Aku butuh ketenangan di sini. Kalau bukan surat yang mengabarkan ayah sedang sakit-sakitan, maka isinya pasti tentang adik-adikku yang merasa kekurangan uang sekolah dan jajan mereka. Lebih menyakitkan lagi, ibu dengan tangis setiap malam memanggil aku pulang. Tidak. Aku tidak akan pulang. Kemarin. Surat itu datang.

Keluhan Pendidikan

Di copy ulang dari shabielzakaria.wordpress.com - Juni 4, 2007

Inilah keluhanku setiap hari:

Mengapa masih banyak guru yang suka memukul?

Mengapa banyak siswa yang kurang tahu menahu sopan santun pada guru?

Mengapa banyak guru yang mangkir dari tugas?

Mengapa Siswa suka nyontek?

Akhhhhh dulu aku alami semua itu….

Selasa, 23 Februari 2010

Guru Kaya atau ‘Guru Kaya' copy Oktober 28, 2007


Sedikit Otokritik Terhadap Proses Sertifikasi Guru

Mulai awal Oktober 2007, 478 guru di sulsel boleh bangga dengan status baru sebagai guru profesional. Status baru itu, tentunya diikuti dengan penghasilan yang terbilang wah. Mereka adalah guru yang lulus uji sertifikasi untuk kuota 2006 yang diadakan oleh Universitas Negeri Makassar (UNM) beberapa waktu lalu (Kompas, 26/09/07). Bayangkan, jika seorang guru dengan gelar S1 yang sudah berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta, nantinya akan mendapatkan penghasilan Rp 3 juta hingga Rp 4 juta. Belum lagi berbagai tunjangan lain yang akan mengikutinya. Menjanjikan bukan?. Disisi lain, guru yang gagal harus berusaha keras untuk lulus dalam uji sertifikasi tersebut. Mereka harus berusaha mengumpulkan berkas-berkas yang menjadi syarat mutlak untuk meraih gelar guru profesional. Seorang guru harus memenuhi standar empat kompetensi sebagi guru profesional, seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.Mengacu pada Peraturan Mendiknas No. 18 tahun 2007, dalam empat kompetensi guru profesional, ada 10 komponen portofolio yang harus dipenuhi seorang guru, antara lain: (1) kualifikasi akademis; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Masing-masing komponen harus dibuktikan dengan dokumen atau bukti fisik, misalnya ijazah, sertifikat, piagam, surat keputusan, atau karya cipta.Maka, tidaklah mengherankan, jika para guru, baik guru lama maupun guru baru, bahkan calon guru, sudah kasak kusuk mengumpulkan berkas-berkas, seperti sertifikat pelatihan, sertifikat seminar, hingga SK kepanitiaan dan kepengrusan organisasi. Betapa tidak, penilaian portofolio untuk mendapatkan skor minimal 850 cukuplah rumit.

Motivasi Ekonomi?
Sebuah pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah, apakah usaha memenuhi 10 kompetensi tersebut, didasari sebagai bentuk usaha pencapaian kualitas diri, dalam hal ini sistem pengajaran? Ataukah sekadar usaha menjadi seorang guru dengan berpenghasilan tinggi?. Kita sebut saja sebagai usaha menjadi Guru Kaya. Kekhawatiran terhadap motif ekonomi ini bisa saja terjadi, dan boleh disebut sangat besar. Bayangkan dengan penghasilan seorang guru, seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini. Semua orang pasti akan berbondong-bondong meraih gelar guru profesional. Terutama bagi mereka yang sudah merasa cukup lama mengabdikan diri sebagai seorang guru.Bahkan, motivasi ini bisa saja menjadi magnet bagi anak-anak muda untuk menjadi guru, yang kita ketahui profesi guru pernah menjadi pilihan kesekian diantara berbagai profesi. Kalau motivasi ekonomi yang menggerakkan para guru mengikuti uji sertifikasi, maka akan memungkinkan terjadi kecurangan dalam proses pemenuhan 10 kompetensi. Sebut saja, penggandaan sertifikat seminar dan pelatihan dari rekan seprofesi, atau pembuatan SK kepengurusan dan kepanitiaan palsu. Jika ini benar-benar terjadi, maka secara tidak langsung, kita telah menggadaikan profesi guru yang dikenal sangat mulia.

Guru Kaya Vs ‘Guru Kaya’
Guru kaya dalam arti sempit adalah guru yang memiliki harta kekayaan cukup banyak. Hidup sejahtera dan jauh dari kekurangan. Kita umpamakan, bak orang kayalah. Tidak seperti predikat guru yang melekat selama ini, seperti guru yang diidentikkan dengan kemiskinan, atau profesi guru adalah batu loncatan, atau malah ada istilah ‘Kalau Mau Kaya Jangan Jadi Guru’. Jika profesi guru hanya dipandang sebagai sebuah pekerjaan dan jabatan, boleh jadi pengertiannya akan mengarah ke situ. Namun, jika menukil makna ‘Guru Kaya’ oleh Ali bin Abi Thalib, maknanya akan menjadi lain. Ia pernah berkata, “Guru kaya adalah guru yang senantiasa mementingkan ilmu daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sedangkan harta malah engkau yang akan menjaganya.” Dus, guru kaya dalam imajinasi Poule Fraire adalah guru yang mengajar dengan menegakkan humanisasi dan realitas diri peserta didik. Jika kita mengurainya, ‘Guru Kaya’ merupakan orang yang tidak hanya memandang keberadaannya sebagai sebuah jabatan, dan tidak memandang pengajarannya sebatas tuntutan pekerjaan. Ia memiliki tabungan kebaikan yang melimpah, menjadikan profesinya sebagai investasi jangka panjang, yang penilaiannya bukan dari banyaknya harta yang dikumpulkan, melainkan dari banyaknya ilmu yang diberikan dan dimanfaatkan bagi kebaikan-kebaikan generasi mendatang. Meminjam istilah Amir Tengku Ramly, menjadi Guru Kaya sesungguhnya adalah kemampuan untuk fokus pada jalur pendidikan yang telah menjadi pilihan, menjadikan guru sebagai profesi dan karier masa depan, mengubah cara pandang pengajaran, membangun hubungan sinergitas dengan siswa, memberdayakan kekuatan hati (feeling) untuk memperoleh sumber ilmu hakiki dan berhimpun sebagai tim yang saling bersinergi dalam Asosiasi Guru Kaya.Pilih Mana?Pilihan menjadi seorang guru kaya dalam pengertian memiliki penghasilan tinggi, sah-sah saja dan bukan sebuah larangan. Sejahtera adalah kebutuhan. Karena untuk meraih kehidupan yang cukup, perlu dukungan finansial memadai. Namun, satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah visi dan misi pribadi sebagai seorang pengajar dan pendidik sejati. Kita sedikit renungkan penggalan Lagu Hymne Guru berikut, “…. Engkau bagaikan pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”.Nah, pilih mana, menjadi guru kaya atau ‘guru kaya’?

*Shabiel Zakaria,

Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Pascasarjana UNM, Penggiat di Indonesian Education Care (IEC) Makassar.
(Pernah dimuat di Harian Tribun Timur edisi November 2007)

DIAM DENGAN SERIBU BAHASA


Ketika diam,
senyap seperti tak ada suara.
Ketika diam,
sunyi seperti tak ada kata.

Ketika diam,
jangan mengganggu-tatap saja.
Ketika diam,
hati-hati-sentuh dengan pelan-pelan.

Karena, kalau orang-orang diam,
bukan berarti tak ada kata.
Karena kata itu,
bermain, bersuara, memberontak, bergejolak
di dalam hati.

Itulah diam,
dengan seribu bahasa.
Bahasa diam, yang penuh makna.
Maknanya ada di hati - di jiwa.
Menggetarkan dada.

Macege-Bone, 24 Februari 2010
Pukul: 15.05

Senin, 22 Februari 2010

SEMANGAT BARU, HARAPAN BARU


Dua minggu terakhir, saya diganggu oleh pikiran yang mungkin merusak isi kepalaku. Tapi pekan ini aku menemukan semangat baru yang mengantarkan aku pada harapan baru. Lagu baru tentang kehidupan, pekerjaan, organisasi, lembaga, keluarga - istri dan anakku. Mereka memberikan "listrik kehidupan" yang tak pernah padam. Aku hanya butuh toleransi, itu saja.