Otokritik Terhadap Hasil UN 2010
Hasil Ujian Nasional (UN) 2010 di Sulawesi Selatan telah diumumkan kemarin. Hasilnya ada yang menyebut sebagai kegagalan besar ada pula yang menganggap biasa-biasa saja. Barangkali yang menganggap sebagai sebuah kegagalan besar adalah mereka yang melihatnya dari sudut peningkatan persentase ketidaklulusan. Dimana tingkat ketidaklulusan tahun ini naik sekitar 0,41% yakni menjadi 7,89% dari 7,48% pada tahun 2009 lalu. Persentase ini memang terbilang kecil, namun jika dilihat dari jumlah siswa yang tidak lulus mencapai lebih dari 10.000 orang dari jumlah peserta sebanyak 33.333 orang (menurut data yang dilansir dari Tribun Timur Edisi 24 dan 26 April 2010).
Sedangkan, bagi mereka yang menganggap biasa-biasa saja adalah mereka yang melihat bahwa masih ada esempatan bagi peserta yang gagal untuk mengikuti Ujian Ulangan yang akan diselenggarakan pada 10 – 14 Mei mendatang. Artinya jika lulus dalam Ujian Ulangan tersebut, maka kesempatan mereka sama saja dengan peserta yang lulus terlebih dahulu.
Meski demikian, kegagalan adalah kegagalan. Ada hal yang jauh berbeda antara mereka yang lulus pada ujian tahap pertama ini dengan mereka yang (mungkin) lulus dalam ujian ulangan nantinya. Kenapa? Mereka yang lulus sudah bisa mempersiapkan diri mengikuti bimbingan belajar untuk masuk ke perguruan tinggi misalnya. Sedangkan yang gagal harus mengikuti bimbingan intensif dari masing-masing sekolah selama dua pekan. Hal lain, ada rasa malu yang begitu besar karena dicap gagal dalam ujian.
Hilangkan Status Quo Lulus 100%
Barangkali ada sebuah ketakutan bagi sekolah-sekolah bahwa kegagalan dalam UN adalah preseden buruk bagi mereka. Itu ada betulnya juga, karena masyarakat pasti bertanya-tanya, ada apa ini? Kenapa ada sekolah sampai mengalami jeblok seperti itu? Ambil contoh misalnya salah satu SMA Negeri di Watampone Kabupaten Bone yang tiga tahun terakhir ini lulus 100% kini mengalami angka ketidaklulusan yang cukup tinggi. Sementara SMA-SMA lainnya di kecamatan siswanya lulus semua. Kita harus melihatnya dua sisi, yakni di satu sisi boleh jadi sekolah unggulan tersebut sudah menjalankan aturan yang benar dalam pelaksanaan UN dan menyerahkan sepenuhnya kepada sistem yang ada. Di sisi lain, boleh jadi beberapa sekolah dengan ketakutan yang berlebihan ingin mempertahankan status quo dengan tingkat kelulusan 100% itu, meski harus keluar dari sistem yang benar.
Sebagai pendidik dan pembelajar (siswa), kita harus sadar betul bahwa dalam ujian apapun, hasilnya selalu ada dua yakni berhasil atau gagal. Karena ujian ini ada nilai batas sehingga mereka yang tidak melampuai nilai standar yang ditetapkan harus menjalani kegagalan itu. Anehnya, banyak diantara kita menetapkan sendiri bahwa setiap kali UN siswa-siswa harus lulus semua, bahkan dengan pemikiran seperti itu banyak cara yang kita lakukan, meskipun itu kadang menyimpang.
Sebagai Pembelajaran
Dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bagaimana kegagalan ini perlu kita cermati dengan baik. Baik kita sebagai pendidik maupun siswa sekalian yang belum berhasil dalam ujian. Kegagalan ini harus kita lihat sebagai sebuah kegagalan bersama, bukan hanya milik sang pembelajar (siswa). Kegagalan itu sejatinya adalah sukses bila kita belajar dari kegagalan tersebut. Jadi bila kita tidak belajar dari pengalaman (gagal) maka kegagalan hanya berarti kegagalan semata. Menurut Henry Ford, kegagalan merupakan kesempatan untuk memulai kembali dengan cara yang lebih cerdas. Artinya, tiada lain yang harus dilakukan adalah kita harus banyak belajar dari kegagagalan ini. Dengan belajar yang lebih maka ada pembeda antara kita yang pernah gagal dengan mereka yang menjalani hidup dengan mulus-mulus saja. Kenapa? Karena kita sebagai manusia yang berakal akan mencari suatu cara (tentunya dengan belajar yang lebih banyak dan lebih cerdas) agar bisa melewati kegagalam pertama tadi.
Ada sebuah cerita atau ibrah yang penulis ambil dari sebuah alamat weblog yang juga dikutip oleh Michael Lum Y dalam bukunya No Failure, Only Success Delayed. Mari kita simak bersama: Pada suatu hari, seorang petani yang sedang berjalan bersama keledainya, terpaksa menghentikan perjalanannya karena sang keledai jatuh ke dalam sumur. Setelah melihat sumur tua yang sudah tak terpakai, sang petani berpikir bahwa sumur ini sudah tidak ada gunanya. Kemudian ia melihat ke dalam sumur. Di dasar sumur terlihat keledai tuanya yang terjatuh. Karena menganggap bahwa sumur dan keledai tak ada gunanya, lalu sang petani mulai memanggil beberapa teman untuk mengubur keledai dan menutup sumur tua tersebut. Sedikit demi sedikit tanah pun mulai diuruk. Sang keledai merasa sedih karena merasa tidak dihargai oleh tuannya.
Tapi ia tidak putus asa. Tanah yang jatuh dipundaknya, digoncangnya, sehingga tanah jatuh ke bawah. Lalu sang keledai naik ke atas tanah tersebut. Demikian seterusnya, sang keledai naik terus. Makin banyak tanah yang dilemparkan, makin dekat sang keledai ke permukaan, sampai akhirnya sampailah keledai ke permukaan sumur dan berhasil loncat ke luar.
Menurut Michael Lum, kegagalan adalah tanah urukan yang berkali-kali harus kita pikul. Tetapi, jika kita bisa memanfaatkan kegagalan dengan baik, maka kegagalan bahkan bisa kita jadikan senjata untuk meraih kemenangan.
Syukuri Kegagalan
Sekali lagi, kita harus belajar dengan semua kegagalan ini. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa dan tidak perlu ada sikap pesismistis. Sikap bijak kita yang adil adalah mensyukuri kegagalan. Percayalah Tuhan sedang menyiapkan sebuah kesusuksesan yang lebih besar. Kita akan ditempa untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Sekolah-sekolah diajarkan bagaimana membuat metode atau system pembelajaran yang lebih kondusif agar kelulusan tahun depan jauh lebih baik. Amin.
Ditulis di Watampone - 26 April 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar