Selasa, 23 Februari 2010
Guru Kaya atau ‘Guru Kaya' copy Oktober 28, 2007
Sedikit Otokritik Terhadap Proses Sertifikasi Guru
Mulai awal Oktober 2007, 478 guru di sulsel boleh bangga dengan status baru sebagai guru profesional. Status baru itu, tentunya diikuti dengan penghasilan yang terbilang wah. Mereka adalah guru yang lulus uji sertifikasi untuk kuota 2006 yang diadakan oleh Universitas Negeri Makassar (UNM) beberapa waktu lalu (Kompas, 26/09/07). Bayangkan, jika seorang guru dengan gelar S1 yang sudah berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta, nantinya akan mendapatkan penghasilan Rp 3 juta hingga Rp 4 juta. Belum lagi berbagai tunjangan lain yang akan mengikutinya. Menjanjikan bukan?. Disisi lain, guru yang gagal harus berusaha keras untuk lulus dalam uji sertifikasi tersebut. Mereka harus berusaha mengumpulkan berkas-berkas yang menjadi syarat mutlak untuk meraih gelar guru profesional. Seorang guru harus memenuhi standar empat kompetensi sebagi guru profesional, seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.Mengacu pada Peraturan Mendiknas No. 18 tahun 2007, dalam empat kompetensi guru profesional, ada 10 komponen portofolio yang harus dipenuhi seorang guru, antara lain: (1) kualifikasi akademis; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Masing-masing komponen harus dibuktikan dengan dokumen atau bukti fisik, misalnya ijazah, sertifikat, piagam, surat keputusan, atau karya cipta.Maka, tidaklah mengherankan, jika para guru, baik guru lama maupun guru baru, bahkan calon guru, sudah kasak kusuk mengumpulkan berkas-berkas, seperti sertifikat pelatihan, sertifikat seminar, hingga SK kepanitiaan dan kepengrusan organisasi. Betapa tidak, penilaian portofolio untuk mendapatkan skor minimal 850 cukuplah rumit.
Motivasi Ekonomi?
Sebuah pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah, apakah usaha memenuhi 10 kompetensi tersebut, didasari sebagai bentuk usaha pencapaian kualitas diri, dalam hal ini sistem pengajaran? Ataukah sekadar usaha menjadi seorang guru dengan berpenghasilan tinggi?. Kita sebut saja sebagai usaha menjadi Guru Kaya. Kekhawatiran terhadap motif ekonomi ini bisa saja terjadi, dan boleh disebut sangat besar. Bayangkan dengan penghasilan seorang guru, seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini. Semua orang pasti akan berbondong-bondong meraih gelar guru profesional. Terutama bagi mereka yang sudah merasa cukup lama mengabdikan diri sebagai seorang guru.Bahkan, motivasi ini bisa saja menjadi magnet bagi anak-anak muda untuk menjadi guru, yang kita ketahui profesi guru pernah menjadi pilihan kesekian diantara berbagai profesi. Kalau motivasi ekonomi yang menggerakkan para guru mengikuti uji sertifikasi, maka akan memungkinkan terjadi kecurangan dalam proses pemenuhan 10 kompetensi. Sebut saja, penggandaan sertifikat seminar dan pelatihan dari rekan seprofesi, atau pembuatan SK kepengurusan dan kepanitiaan palsu. Jika ini benar-benar terjadi, maka secara tidak langsung, kita telah menggadaikan profesi guru yang dikenal sangat mulia.
Guru Kaya Vs ‘Guru Kaya’
Guru kaya dalam arti sempit adalah guru yang memiliki harta kekayaan cukup banyak. Hidup sejahtera dan jauh dari kekurangan. Kita umpamakan, bak orang kayalah. Tidak seperti predikat guru yang melekat selama ini, seperti guru yang diidentikkan dengan kemiskinan, atau profesi guru adalah batu loncatan, atau malah ada istilah ‘Kalau Mau Kaya Jangan Jadi Guru’. Jika profesi guru hanya dipandang sebagai sebuah pekerjaan dan jabatan, boleh jadi pengertiannya akan mengarah ke situ. Namun, jika menukil makna ‘Guru Kaya’ oleh Ali bin Abi Thalib, maknanya akan menjadi lain. Ia pernah berkata, “Guru kaya adalah guru yang senantiasa mementingkan ilmu daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sedangkan harta malah engkau yang akan menjaganya.” Dus, guru kaya dalam imajinasi Poule Fraire adalah guru yang mengajar dengan menegakkan humanisasi dan realitas diri peserta didik. Jika kita mengurainya, ‘Guru Kaya’ merupakan orang yang tidak hanya memandang keberadaannya sebagai sebuah jabatan, dan tidak memandang pengajarannya sebatas tuntutan pekerjaan. Ia memiliki tabungan kebaikan yang melimpah, menjadikan profesinya sebagai investasi jangka panjang, yang penilaiannya bukan dari banyaknya harta yang dikumpulkan, melainkan dari banyaknya ilmu yang diberikan dan dimanfaatkan bagi kebaikan-kebaikan generasi mendatang. Meminjam istilah Amir Tengku Ramly, menjadi Guru Kaya sesungguhnya adalah kemampuan untuk fokus pada jalur pendidikan yang telah menjadi pilihan, menjadikan guru sebagai profesi dan karier masa depan, mengubah cara pandang pengajaran, membangun hubungan sinergitas dengan siswa, memberdayakan kekuatan hati (feeling) untuk memperoleh sumber ilmu hakiki dan berhimpun sebagai tim yang saling bersinergi dalam Asosiasi Guru Kaya.Pilih Mana?Pilihan menjadi seorang guru kaya dalam pengertian memiliki penghasilan tinggi, sah-sah saja dan bukan sebuah larangan. Sejahtera adalah kebutuhan. Karena untuk meraih kehidupan yang cukup, perlu dukungan finansial memadai. Namun, satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah visi dan misi pribadi sebagai seorang pengajar dan pendidik sejati. Kita sedikit renungkan penggalan Lagu Hymne Guru berikut, “…. Engkau bagaikan pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”.Nah, pilih mana, menjadi guru kaya atau ‘guru kaya’?
*Shabiel Zakaria,
Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Pascasarjana UNM, Penggiat di Indonesian Education Care (IEC) Makassar.
(Pernah dimuat di Harian Tribun Timur edisi November 2007)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar